Kamis, 14 Januari 2010

Anak Kuliner dan Pejabat Pemprop Jatim








Pejabat PEMPROV Jatim
Kunjungi Program Kuliner MEC

Tiba-tiba saja beberapa orang berseragam pemerintah datang ke tempat praktek kuliner di lantai 4 gedung SHS. Tampak nama dalam emblemnya Djoni Irianto. Setelah diberi tahu dari staffnya baru saya tahu bahwa beliau itu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur. Berarti beliau adalah Staffnya Pak De Karwo yang menangani masalah kebudayaan dan pariwisata. Saat itu beliau datang tidak sendiri, Pak Djoni mengajak seorang staff dan pak Bambang S. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Jawa Timur.
Anak-anak kuliner MEC merasa cukup surprise dengan kedatangan rombongan tersebut. Maklum selama ini mereka tidak pernah bertemu dan bercakap langsung dengan pejabat eselon I. Paling banter mereka ketemu pak Carik atau pak Lurah. Itupun setahun sekali kalo pas lagi ngurus KTP, Surat Keterangan Tidak Mampu, atau permohonan-permohonan lainnya. Namun dengan adanya kunjungan dan dukungan moril dari pejabat tersebut, ke PD an mereka bertambah. Apalagi para pejabat tersebut juga mencicipi beberapa makanan hasil olah kreatif anak-anak seperti bakpao, bakso udang, onde-onde, siomay dll. Dan kemudian bilang enak, mak nyus. Ya semoga tambah semangat. Ciao !!!!













Jumat, 01 Januari 2010

MEC di Jawa Pos


Mandiri Entrepreneur Center, Kampus Gratis untuk Anak Yatim
Fasilitasi Pendidikan sampai Mencarikan Kerja


Pada zaman ini, sangat sulit lulusan SMA mendapat pekerjaan. Hal itu juga dirasakan pengurus Yayasan Yatim Mandiri yang mengasuh puluhan anak yatim. Mereka mencoba memecahkan problem tersebut dengan mendirikan Mandiri Entrepreneur Center (MEC).

HAFID ABDURAHMAN

---

KAMPUS di Jalan Jambangan 70 itu tidak luas, hanya 1.800 meter persegi, satu lantai. Ada tujuh ruang kelas, tiga laboratorium komputer -satu di antaranya untuk bengkel-, satu ruang koperasi, front office, dan lima ruang asrama.

''Kampus ini bekas gedung SMP swasta yang sudah tutup,'' kata Humas MEC Hendy Nurrokhmansyah. ''Ini kelas komputer, akuntansi, dan administrasi MEC. Kami berharap anak-anak yatim ini kelak bisa bekerja di bagian administrasi kantor atau perusahaan,'' jelasnya.

Perguruan tinggi setingkat diploma satu (D-1) itu memang khusus untuk anak yatim. Mereka belajar di situ tanpa bayar. Bahkan, biaya hidup mereka -makan dan tempat tinggal- juga ditanggung.

MEC kini menampung 96 lulusan SMA. Semua tinggal di asrama. Tiga di antara lima ruang asrama itu dipakai untuk perempuan, sisanya dihuni mahasiswa pria.

Mereka terbagi dalam enam jurusan. Yakni, komputer akuntansi, desain grafis, otomotif, teknisi komputer, kuliner, dan diklat guru TK (taman kanak-kanak). ''Kami sengaja memilih enam jurusan itu agar anak-anak cepat dapat kerja,'' papar Hendy. ''Lapangan kerja di bidang administrasi, otomotif, atau kuliner begitu banyak. Ya, syukur-syukur nanti anak-anak bisa jadi entrepreneur,'' lanjut lulusan Fakultas Sastra Unair itu.

Fasilitas perkuliahan di kampus tersebut cukup memadai. Misalnya, pagi kemarin, Iryanto Budiman, dosen akuntansi, menjelaskan pelajaran di depan 22 mahasiswanya dengan bantuan OHP (overhead projector).

Di ruangan lain, laboratorium komputer, para mahasiswa tekun mengikuti materi pengenalan web. ''Sudah tiga bulan belajar bikin web design. Ya susah-susah gampang. Setelah itu, baru bisa punya blog sendiri,'' kata Abdul Wahab Hasan, salah seorang mahasiswa jurusan desain grafis dan multimedia.

MEC didirikan Yayasan Yatim Mandiri (YYM). Lembaga pengasuhan anak yatim yang didirikan pada 1993 itu memang concern pada pendidikan anak-anak asuhnya. Mereka disekolahkan mulai SD sampai SMA. Namun, setelah lulus SMA, mereka sulit mendapatkan pekerjaan. ''Bisa saja dapat kerja, tapi susah. Apalagi, harus bersaing sama lulusan diploma atau sarjana,'' kata Hendy.

Agar mampu bersaing, pada 2004, yayasan menambah pendidikan anak-anak asuh tersebut. Sebagian lulusan SMA yang selama ini diasuh dikirim belajar ke sejumlah lembaga pendidikan. Misalnya, ke LP3I (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia).

Namun, hasilnya kurang efektif. Anak-anak asuhan YYM dinilai kurang giat belajar. Sebagian anak mengeluh tidak pede (percaya diri). ''Sebab, mereka merasa berbeda dari mahasiswa yang bukan yatim,'' jelas Hendy. Selain itu, beberapa anak asuh yang pamit kuliah ternyata jarang ditemui di kampus. ''Ketika bekerja, banyak juga anak yang minder karena merasa sebagai anak yatim,'' ungkap pria kelahiran 25 Mei 1981 tersebut.

Melihat perkembangan itu, manajemen YYM mengevaluasi. Hingga akhirnya, terpikir mendirikan perguruan tinggi sendiri khusus untuk anak yatim yang dilengkapi asrama. Dengan demikian, mahasiswa tak bisa mbolos. Maka, didirikanlah MEC pada 2007.

Diharapkan, anak didik mereka bisa menjadi entrepreneur. Atau, setidaknya bisa lebih mudah mendapat pekerjaan dari pendidikan formal yang diterimanya. ''Awalnya, mahasiswanya hanya 35 orang,'' kenang pria asal Pare, Kediri, tersebut.

Tak semua lulusan SMA ''berpredikat'' yatim bisa ditampung di MEC. Sebab, pengelola perguruan tinggi dengan durasi setahun itu menerapkan seleksi ketat. Misalnya, nilai akademis, wawasan diniyah (agama), dan persyaratan lain. ''Sebab, yang daftar banyak. Ternyata, ada yang masih punya bapak-ibu. Ada juga yang piatu (punya bapak tak punya ibu, Red),'' ucap Hendy. ''Terpaksa kami tolak karena pendidikan ini khusus yatim,'' tegasnya.

Aturan ketat juga diberlakukan setelah mereka diterima. Masa orientasi mahasiswa merupakan saat-saat penggemblengan mental. Mahasiswa wajib menjual barang yang disiapkan pengelola kampus. Jika tidak memenuhi target, mereka akan mendapatkan iqob (hukuman). ''(Hukumannya) tidak dapat jatah makan malam,'' ujar Hendy.

''Tapi, targetnya tidak besar. Dari jualan, anak-anak minimal untung Rp 2 ribu saja. Jualannya juga di sekitar kampus. Selama orientasi (seminggu), omzet penjualan mahasiswa bisa mencapai Rp 14 juta,'' lanjutnya.

Pada tiga bulan pertama pendidikan, mahasiswa tidak diperkenankan pulang ke rumah. Harus selalu tinggal di asrama, dilarang menerima uang jajan dari orang tua. ''Kalau ingin dapat uang, mahasiswa harus bekerja di luar jam kuliah,'' kata Hendy.

Untuk memantau peraturan tersebut, pengelola MEC membuat usroh atau kelompok beranggota 10-15 mahasiswa. Tiap grup punya pendamping. ''Pendampingnya biasanya alumnus MEC yang kini sudah bekerja,'' paparnya.

Selama tiga tahun berjalan, sekitar 80 persen lulusan MEC memperoleh pekerjaan. ''Yang tidak bekerja biasanya wanita. Mereka memilih menikah,'' katanya. Pengelola kampus memang mengusahakan agar anak didiknya mendapat pekerjaan.

Mereka punya trik cukup jitu. Mahasiswa yang akan lulus dikirim ke sejumlah perusahaan untuk magang. Sedikitnya ada 80 bidang usaha yang biasa digunakan kerja praktik. Sebagian besar adalah UKM (usaha kecil menengah).

''Umumnya tempat magang mereka adalah donatur YYM. Selain itu, kami punya buletin dan majalah. Di situ, kami mengumumkan bahwa ada calon lulusan MEC yang sudah siap bekerja. Alhamdulillah, anak-anak akhirnya benar-benar mandiri,'' ucap Hendy.

YYM memang punya dukungan dana cukup kuat. Tak kurang dari 60 ribu orang menjadi donatur tetap. ''Biaya pendidikan dan living cost anak-anak itu hanya menyerap sekitar 15 persen dari total sumbangan donatur,'' jelas Hendy.

Biaya pendidikan plus living cost anak-anak yatim tersebut, lanjut dia, berkisar Rp 10 juta sampai Rp 15 juta setahun. Sedangkan sepuluh pengajarnya tak dibayar. ''Mereka (staf pengajar, Red) umumnya juga donatur, pendamping, sekaligus teman curhat bagi anak-anak,'' papar Hendy. Mereka memang dipilih karena punya latar belakang hampir sama dengan anak didiknya. (*/cfu)

http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=108448